Rebo wekasan, Tradisi Tolak Bala’ yang Masih Terjaga

Hari Rabu (18/1) lalu, merupakan hari Rabu terakhir bulan Shafar pada penanggalan Hijriyah. Masyarakat Rembang menyebut hari Rabu tersebut dengan istilah Rebo Wekasan. Istilah yang kental dengan nuansa mistis.

Pada umumnya, sebagian besar masyarakat Jawa mempercayai bahwa Rebo Wekasan merupakan hari bala’ (naas) lantaran pada hari tersebut diyakini ribuan bala’ diturunkan ke muka bumi oleh sang pencipta.

Agar terhindar dari bala’ tersebut, maka muncullah ritual tertentu yang dilakukan pada hari itu. Di sebagian wilayah Kabupaten Rembang, ritual tersebut hingga kini masih terjaga kelestariaanya dan menjadi sebuah tradisi.

Secara lughowi atau harfiah, Rebo Wekasan berasal dari Bahasa Jawa yang terdi dari dua kata yakni Rebo dan wekasan. Rebo berarti hari Rabu, dan Wekasan berarti pamungkas, ujung, atau terakhir.

Secara terminology, Rebo Wekasan dapat didefinisikan sebagai bentuk ungkapan yang menjelaskan satu posisi penting tentang hari Rabu terakhir bulan Shafar pada penanggalan Hijriyah.

Menurut beberapa keterangan, salah satunya yang terdapat dalam Kitab  “Kanzun Najah” karangan Syekh Abdul Hamid Kudus (pernah mengajar di Makkah al Mukaramah), sebagian ulama ‘ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi) berpendapat bahwa setiap hari Rabu terakhir bulan Shafar diturunkan ke bumi sebanyak 360.000 malapetaka dan 20.000 macam bencana.

Keterangan serupa juga terdapat dalam kitab-kitab lain yang telah masyhur.

Kemudian oleh Orang Jawa, Rabu terakhir di bulan Shafar tersebut biasa disebut dengan istilah Rebo Wekasan. Berbagai ritual pun berkembang di tengah masyarakat sebagai wujud permohonan do’a kepada Sang Kholik agar terhindar dari marabahaya.

Ritual tolak bala’ Rebo Wekasan biasa dilakukan dengan memanjatkan doa puji-pujian yang dibarengi dengan pemberian sedekah atau berbagi sedikit rizki kepada sesama. Hal tersebut diyakini mampu menghindarkan seseorang dari bala’ dan marabahaya.

Dalam Islam juga disebutkan bahwa do’a dan sedekah dapat menghindarkan seseorang dari musibah atau bala’.

Sebagian masyarakat Rembang melaksanakan ritual Rebo Wekasan dengan kondangan dan sedekah ketupat lengkap dengan lepetnya. Biasanya kondangan ketupat dilakukan secara berjamaah alias bersama-sama di surau atau langgar-langgar. Dengan disertai niatan yang suci mereka bermunajat kepada Allah agar terhindar dari segala bala’.

Namun ada juga yang melakukan ritual Rebo Wekasan dengan cara yang cukup sederhana yakni hanya dengan membuat makanan kecil yang kemudian dibagikan kepada tetangga atau orang-orang sekitar. Pada prinsipnya, ritual Rebo Wekasan selalu berwujud sedekahan dengan dibarengi do’a pujian.

Hal tersebut, tentu saja mengacu pada tuntunan agama yang mengajarkan bahwa bersedekah dan berdoa dapat menolak bala’. Selain itu kedua amalan tersebut juga merupakan ritual ampuh untuk mendapatkan berbagai kebaikan dan kemudahan dari Allah SWT. Wallohu a’lam. (Rom)

Menyibak Tabir Pelet Jaran Goyang

“Cinta ditolak, dukun bertindak”, begitulah jargon yang akrab terdengar di telinga kita. Apakah jargon itu masih berlaku di era dunia tanpa batas seperti saat ini? Dan apakah cinta sejati yang tak dapat dimiliki benar akan dikejar dan dibawa mati?

Anda pasti pernah mendengar pelet jaran goyang. Yup! Sebuah mantra yang ketika diucapkan akan menimbulkan efek yang luar biasa bagi pengucap maupun bagi seseorang yang diinginkan.

Konon, mantra jaran goyang dapat menimbulkan efek hilangnya akal sehat, baik bagi pengucap maupun si target. Mantra ini sangat terkenal, khususnya bagi sebagian masyarakat Jawa. Balas dendam karena cinta yang tertolak dan persekutuan dengan setan adalah skenario utama terciptanya mantra ini. Namun bagaimana mantra ini dapat tercipta?

Menurut seorang nara sumber yang identitasnya minta disembunyikan, mantra pelet jaran goyang bermula dari kisah si tukang kebun dengan puteri cantik putra penguasa pada zaman penjajahan Belanda di Jawa.

Alkisah, konon kabarnya ada seorang tukang rumput yang bekerja di rumah salah satu penguasa daerah di Jawa pada masa penjajahan Belanda. Tukang rumput tersebut  adalah orang miskin yang rajin bekerja dan tidak pernah melakukan kejahatan apapun.

Hingga suatu saat ia jatuh cinta pada puteri penguasa daerah tersebut. Dia berusaha menahan rasa cinta itu karena dia pikir cinta yang dirasa adalah sia-sia. Dia sangat menyadari siapa dia dan siapa orang yang dicintainya tersebut. Dia hanya melihat pujaan hatinya dari jauh dan mengkhayalkan ketika malam menjelang.

Suatu hari, saat dia tak lagi kuat menahan rasa cinta yang kian lama kian membara, akhirnya dia mengungkapkan perasaannya pada sang puteri. Sang puteri begitu terkejut dan sama sekali tidak menyangka tukang rumput yang selama ini dianggap rendah ternyata mengungkapkan cinta. Sang puteri marah besar dan dalam amarahnya, puteri itu mengumpat dan meludahi si tukang kebun.

Respon puteri yang berlebihan dan sama sekali tidak diduga oleh si tukang kebun, membakar amarah dan dendam tukang kebun. Dia mengambil ludah sang puteri yang terlanjur jatuh ke tanah dan pikirannya yang telah dipengaruhi setan mengatakan bahwa dia harus membalas dendam atas semua perlakuan sang puteri padanya.

Kemarahan itu membuat tukang kebun berpuasa selama 40 hari. Dan tepat dihari ke-40 dengan bantuan setan, dia berhasil menciptakan mantra pelet jaran goyang. Sebuah mantra yang tercipta dari dendam, nafsu, dan amarah.

Keesokan harinya, tukang kebun itu menemui sang puteri dan membacakan mantra tersebut. Sang puteri langsung jatuh pingsan dan ketika tersadar, sang puteri berteriak-teriak histeris mencari tukang kebun tersebut. Sang puteri memohon-mohom untuk dinikahi. Namun, si tukang kebun terlanjur kesetanan, maka, seluruh perbuatan yang pernah dilakukan oleh sang puteri kini dibalas oleh tukang kebun.

Tak lama waktu berselang, akhirnya si tukang kebun meninggal dunia. Sang puteri tetap berada dalam kegilaannya yang tak kunjung terobati dan tak lama setelah si tukang kebun meninggal, sang puteri pun menyusul. Mereka dikebumikan berdampingan hingga saat ini.

Di penghujung nafas terakhirnya, si tukang kebun berpesan, bahwa siapa saja yang menggunakan mantra ini dengan tujuan untuk membalas dendam karena cinta yang tak tergapai, maka si pengguna akan bernasip sama seperti dirinya dan sang puteri, yaitu gila hingga mati.

Sampai saat ini mantra tersebut masih dimiliki dan dipelajari oleh kalangan tertentu. Siapa pun yang menggunakan mantra ciptaan tukang kebun tersebut, tentu dia telah bersekutu dengan setan. Bukan kebahagiaan yang akan diperoleh, tetapi sengsara seumur hidup hingga dibawa ke alam kubur. Naudzu billahi mindzalik. (Rom)

Menyingkap Misteri Rebo Wekasan

Hari Rabu lalu, merupakan hari Rabu terakhir Bulan Shafar pada penanggalan Hijriyah. Masyarakat Rembang menyebut hari Rabu tersebut dengan istilah Rebo Wekasan. Istilah yang kental dengan nuansa mistis yang sering kita dengar sejak kecil hingga sekarang.

Benarkah Rebo Wekasan memendam nilai mistik? Pada umumnya, sebagian besar masyarakat Jawa mempercayai bahwa Rebo Wekasan merupakan hari naas atau hari bala’ atau sial. Agar terhindar dari bala’ tersebut, maka muncullah ritual tertentu yang hingga kini masih terjaga kelestariaanya dan menjadi sebuah tradisi.

Secara lughowi atau harfiah, kalimat Rebo Wekasan berasal dari dua suku kata, yaitu Rebo yang berarti hari Rabu, dan Wekasan yang berarti pamungkas, ujung, atau terakhir. Sedangkan secara terminology, Rebo Wekasan dapat didefinisikan sebagai bentuk ungkapan yang menjelaskan satu posisi penting tentang hari Rabu terakhir bulan Shafar pada penanggalan Hijriyah.

Menurut keterangan yang terdapat dalam kitab  “Kanzun Najah” karangan Syekh Abdul Hamid Kudus (pernah mengajar di Makkah al Mukaramah), sebagian ulama ‘ahli mukasyafah (sebutan ulama sufi tingkat tinggi) berpendapat bahwa setiap hari Rabu di akhir bulan Shafar diturunkan ke bumi sebanyak 360.000 malapetaka dan 20.000 macam bencana. Keterangan serupa juga terdapat dalam kitab-kitab lain yang telah masyhur kebenarannya.

Kemudian oleh Orang Jawa, Rabu terakhir di bulan Shafar tersebut biasa disebut dengan istilah Rebo Wekasan. Berbagai ritual pun berkembang di tengah masyarakat kita sebagai wujud permohonan do’a kepada Sang Kholik agar terhindar dari mara bahaya. Dari situlah, mistik dan ritual  Rebo Wekasan seakan menjadi tradisi budaya yang selalu turun temurun.

Biasanya ritual tolak bala’ di Rebo Wekasan dibarengi dengan acara sedekahan maupun berbagi sedikit rizki terhadap sesama. Dalam Islam diajarkan bahwa do’a dan sedekah dapat menghindarkan seseorang dari musibah atau bala’.

Di Rembang, ritual Rebo Wekasan dilaksanakan dengan sedekah dan kondangan ketupat. Biasanya kondangan ketupat dilakukan secara berjamaah alias bersama-sama di surau atau langgar-langgar. Dengan disertai niatan yang suci mereka bermunajat kepada Allah agar terhindar dari segala bala’.

Namun ada juga yang melakukan ritual Rebo Wekasan secara sederhana dengan membuat makanan kecil yang kemudian dibagikan kepada tetangga atau orang-orang sekitar. Pada prinsipnya, ritual Rebo Wekasan selalu berwujud sedekahan dengan dibarengi do’a pujian.

Hal tersebut, tentu saja mengacu pada tuntunan agama yang mengajarkan bahwa bersedekah dan berdoa dapat menolak bala’. Selain itu kedua amalan tersebut juga merupakan ritual ampuh untuk mendapatkan berbagai kebaikan dan kemudahan dari Allah SWT. Wallohu a’lam. (Rom)

Harta Karun di Lapangan Adon Ayam

Hamparan tanah di Desa Tuyuhan, Kecamatan Pancur, Rembang dipercaya sebagai lapangan Adon Ayam. Tempat tersebut diyakini warga sekitar sebagai tempat dimana Sunan Bonang dan Bracak Ngilo pernah beradu kesaktian.

Konon, mereka menyabung ayam dengan taruhan kepercayaan masing-masing. Ayam sabung tersebut dijadikan media untuk menguji kesaktian dua tokoh sakti mandra guna yang cukup tersohor tersebut.

Menurut cerita yang beredar, sejak awal Sunan Bonang sudah menampik ajakan Bracak Ngilo untuk mengadu ayam. Namun, desakan Bracak Ngilo yang ingin menguji kesaktian Sunan Bonang menyebabkan beliau meladeni tantangan tersebut. Adu ayam itu dilaksanakan di sebuah puncak bukit.

Bracak Ngilo dengan kesaktiannya menciptakan ayam dari potongan kuku. Sunan Bonang pun menciptakan ayam jantan dari potongan kayu. Dalam pertarungan tersebut taruhan yang dipakai adalah kepercayaan atau agama masing-masing. Namun demikian, Sunan Bonang juga mempertaruhkan seluruh harta bendanya.

Pertarungan ayam jelmaan milik dua tokoh sakti itu berlangsung sangat seru. Setelah sekian lama beradu, akhirnya ayam Bracak Ngilo dapat dikalahkan. Merasa ayamnya kalah, Bracak Ngilo segera melarikan diri. Dengan kesaktiannya yang luar biasa ia dapat mengubah dirinya dan bersembunyi dibalik nasi yang ada di dalam warung.

Meski demikian, Sunan Bonang dapat mengejar Bracak Ngilo. Malah, di warung itu Bracak Ngilo sempat terkencing-kencing setelah mengetahui Sunan  Bonang mengejarnya sampai di tempat persembunyian. Melihat musuhnya terkencing-kencing, lantas daerah tersebut diberi nama Sunan Bonang dengan sebutan Tuyuhan (berasal dari kata uyuh yang berarti kencing).

Sampai saat ini penduduk meyakini bila di lapangan Adon Ayam tersebut terdapat harta karun peninggalan Sunan Bonang. Paling tidak, ada sebuah bokor emas yang saat ini dikuasi oleh para jin. Kabarnya, bokor itu dipakai oleh Sunan untuk mengambil air ke belik yang akan dipergunakan untuk memandikan ayam aduannya.

Selain adanya harta karun, tempat tersebut juga diyakini sebagai tempat meramal nasib seseorang. Konon, siapapun yang bisa naik ke tempat ini dan pulang tanpa tersesat maka mereka akan dinaikkan derajatnya atau naik pangkat.

Benarkah demikian?? Percaya boleh, gak percaya juga gak apa-apa. Yang jelas warga sekitar meyakini bahwa cerita yang ia dengar dari para leluhurnya secara turun temurun tersebut benar adanya. Lantas dimanakah harta karun tersebut?

Menurut seorang sumber, harta tersebut masih utuh di perut bumi. Hanya saja, harta itu sudah menjadi singgasana para bangsa dedemit sehingga sulit dideteksi dengan indra biasa. Hanya orang-orang linuwih yang dapat melihat benda berharga di lapangan Adon Ayam tersebut. Untuk mengeksplorasinya, menurut sumber tersebut tidaklah gampang. Diperlukan ritual khusus dengan persyaratan dan ubo rampe yang teramat berat.

Karenanya, hingga saat ini tak pernah ada orang pintar atau pemburu harta karun yang mencoba menguasainya. Konon, harta karun tersebut saat ini telah menjadi kerajaan demit di sekitar kawasan tersebut. Meski demikian, bangsa lelmbut tersebut tak akan berani mengusik warga sepanjang keberadaannya tak terusik. Benarkah? Wallohu a’lam. (Rom)

Hantu Cantik di Songkel Mereng

Malam hari, ketika anda melintas di tikungan Songkel Mereng, Mantingan, Kecamatan Bulu, Rembang, berhati-hatilah. Jangan mudah terpancing oleh rayuan perempuan cantik yang menyaru sebagai gadis pencari tumpangan.

Sosok genit yang konon kabarnya biasa beregentayangan di tikungan wingit tersebut sebenarnya adalah hantu cantik yang hendak balas dendam. Menurut penuturan warga, lelembut seksi itu merupakan jelmaan roh penasaran dari gadis korban perkosaan yang kemudian dibunuh dan jasadnya di buang di sekitar hutan Mantingan.

Kabarnya, untuk menggaet mangsanya, hantu seksi itu tak segan-segan mengajak calon korban untuk bercinta. Ingat, waspadalah! Jika anda terlena, salah-salah anda akan bersenggama dengan batang pisang di pinggir jalan yang angker tersebut. Atau, mungkin anda akan mengalami kecelakaan lalu lintas yang mengerikan jika terbuai rayuan arwah gentayangan tersebut. Menyeramkan!!!

Bagi mereka yang tinggal di dekat tikungan Songkel Mereng, kemunculan hantu cantik yang mengaku bernama Neni sudah tak asing lagi. Malah, konon kabarnya beberapa pengendara yang melintasi tikungan tersebut pada malam hari, telah menjadi korban.

Acap kali di lokasi tersebut terjadi peristiwa yang memilukan yakni kecelakaan tunggal yang mengerikan. Naudzu billahi mindzalik.

Rudi, salah satu warga asal Kecamata Rembang Kota, yang  beberapa waktu lalu melintasi tikungan itu, kepada SR mengaku mengalami hal ganjil yang sangat menengangkan.

Ceritanya, malam itu, ia hendak pulang ke Rembang setelah merampungkan urusan bisnis pakan ternak di Blora Mustika dengan koleganya. Di tengah perjalanan, tepatnya di tikungan Songkel Mereng, ia bertemu dengan seorang perempuan cantik yang mengaku bernama Neni.

Saat itu Neni tampak berjalan payah dan terlihat tolah toleh mencari tumpangan. Karena merasa kasihan, Rudi tak berpikir panjang dan langsung menghentikan laju sepeda motor Mega Pro yang ditungganginya. Singkat cerita, karena paras Neni yang semlohai, dengan senang hati Rudi pun mempersilakan Neni untuk membonceng di belakangnya.

Baru beberapa meter sepeda motor melaju, Rudi merasakan keanehan. Bau wangi parfum di luar kewajaran bercampur anyir darah menusuk hidung Rudi. Perlahan namun pasti, Rudi mulai dirasuki rasa takut yang mendalam.

Dengan sedikit keberanian yang tersisa, Rudi mencoba melirik ke belakang. Betapa ia sangat kaget, ternyata ia tak menemukan gadis cantik yang tadi sempat memboncengnya.

Sontak, pria lajang tersebut baru sadar bahwa ia masih berada di kawasan jalan sepi yang terkenal wingit. Ia sadar betul bahwa ia sedang berhadapan dengan bangsa lelembut yang sangat ditakutinya.

Karena gugup bercampur takut, ia spontan menarik gas motornya. Apa lacur, laju motornya yang serta merta kencang membuat keseimbangannya sedikit goyah.

Sraaaak, motor yang dikendarai Rudi pun oleng dan keluar dari kastin dan ia pun terpelanting. Beruntung, Rudi hanya mengalami lecet-lecet sedikit di tangannya dan selebor depan motornya pecah. Selebihnya, aman-aman saja.

Cerita Rudi seakan mentasbihkan bahwa tikungan Songkel Mereng memang sangat angker dan wingit. Bermohonlah kepada Allah agar diberi keselamatan saat anda melintas rute-rute yang terkenal gawat. Dan jika perlu, nyalakkan klakson sebelum anda melintasinya. (Rom)